Ada lulusan S2 Universitas Indonesia menuntut haknya untuk disuntik mati. Pada dasarnya adalah tuntutan ekonomi. Merasa tidak tahan dengan tekanan ekonomi, meminta pemerintah untuk menyuntik mati saja dirinya. Ditunjukkan ijazah S2 miliknya ke salah satu stasiun TV, lalu mempertanyakan hak euthanasia bagi diri. Kemudian mengutip pasal di UUD yang mengatakan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dia mempertanyakan implementasi dari pasal ini oleh pemerintah. Mengapa dirinya yang jobless (ini perkataan beliau lho, bukan saya sok Inggris) tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah. Dipertanyakan tanggung jawab pemerintah mengenai pasal ini.
Pendek kata, beliau ingin mendapat tunjangan sebagai fakir, atau disuntik mati saja.
Beberapa pelajaran dari kasus ini.
- Ilmu tidak menjamin mental.
Seseorang yang berilmu tinggi tidak dengan serta merta mempunyai sikap mental teruji. Beliau memlih jalan singkat (dibunuh) atau jalan malas (mendapat tunjangan dari pemerintah). Bahkan di antara keduanya, beliau tidak mau memilih sendiri. Meminta pemerintah yang memilihkan utuk dirinya.
Saya melihat pemulung sampah lebih mulia darinya. Mereka tidak merengek ke pemerintah untuk mendapat tunjangan. Mereka tidak meratapi nasib, mereka menghadapinya dengan tegar. Berdamai dengan kenyataan kemudian berusaha mengubah semampunya.
Dan ada ribuan bahkan jutaan orang yang seperti itu. Tukang sampah, satpam, office boy, tukang jual gorengan, loper koran, ah … daftar yang panjang. Pekerjaan macam ini sangat banyak tersedia, tinggal mau atau tidak mau menjalaninya. Dan beliau yang lulusan S2 sepertinya punya suatu kehinaan ketika harus turun menjadi ‘low level worker’ semacam itu.
- Dia mempertanyakan lembaga pendidikan juga. Mengapa S2 tidak membuatnya mendapatkan kerja, padahal pendidikan sudah ditempuh dengan susah payah dan dengan biaya mahal.
Ini menunjukkan sikap sebagian besar orang Indonesia yang ingin mendapatkan pekerjaan bukannya ingin membuka lapangan kerja. Jika ijazah tidak membawanya mendapat pekerjaan yang diinginkan, maka dia menyalahkan universitas, lingkungan, negara, tapi lupa menyalahkan diri sendiri.
Seharusnya dengan gelar S2 disandang, dia dapat lebih mudah melihat dan menganalisa kebutuhan masyarakat sekeliling kemudian berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
- Kejadian ini juga menunjukkan kesalahan orientasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan tidak mendidik mahasiswa utuk bersikap mandiri. Pendidikan lebih berorientasi menjadikan lulusannya pekerja. Sudah waktunya pendidikan memasukkan unsur wirausaha ke dalam kurikulum.
Karena sungguh, mental wira usaha adalah mental yang ulet, tabah, pantang putus asa, sekaligus jeli dan kreatif melihat peluang. Sudah banyak contoh wira usahawan yang memulai dari nol. Om Sudono Salim memulai usaha dari jualan rokok ketengan. Bob Sadino dari berjualan telor keliling kampung. Mereka bermodal sangat minim, berpendidikan minim, tapi dengan keuletan dan ketekunan berangsur berkembang dan akhirnya meraksasa. Maka pendidikan kewirausahaan akan sangat bermanfaat untuk membekali para wisudawan agar tidak berharap melulu jadi pekerja.
- Saya sendiri menolak frase “fakir miskin dipelihara negara”. Kalau “anak terlantar dipelihara negara” masih bisa diterima.
Pasal “fakir miskin dipelihara negara” untuk Indonesia lebih banyak mudhorotnya karena mental yang belum tertata. Seperti contoh di atas, membuat orang menempuh jalan malas bergantung pada tunjangan bulanan dari pemerintah. Dan kita tahu belaka bagaimana defisit neraca negara ini. Belum lagi birokrasi distribusi tunjangan yang pasti rawan akan korupsi dan penyelewengan.
Padahal seseorang – maksud saya seorang laki-laki – dipandang bermartabat ketika dia dapat menghidupi keluarganya dari hasil usaha tangannya sendiri. Tentu tidak harus mewah. Tapi bila penghidupan keluarga didapat dari tunjangan dan sumbangan, baik dari pemerintah ataupun yang lain, maka martabat lelaki tersebut jatuh berkeping-keping.
Pada akhirnya saya percaya bahwa mental seseorang (ESQ kata pak Ary Ginanjar) lebih menentukan daripada IQ dan keilmuan. Ini sebagai bahan pengingat bagi kita semua terutama mengenai pendidikan anak. Karena pendidikan berbeda dengan pengajaran. Pengajaran menularkan pengetahuan sedang pendidikan membentuk mental. Pengajaran melatih otak sedang pendidikan mengasah hati.
Tentunya hal ini tidak membuat kita melarang orang lain untuk belajar S2 di UI.
Depok, Agustus 2014