Oleh: Bambang Santoso
Teman saya baru saja kehilangan istrinya karena penyakit diabetes. Dari sejak penyakit diketahui, sampai istrinya meninggal hanya berselang tiga bulan. Dia mengatakan: “Satu hal yang saya ambil sebagai pelajaran berharga adalah bahwa diabetes sangat berbahaya. Penanganan harus memenuhi dua hal: tepat dan cepat. Tepat tapi tidak cepat ibarat berlomba dengan penyakit. Makin lama luka makin menjalar. Jika lambat maka penyakit tidak terkejar dengan obat. Penyakit makin menjadi parah. Dan dapat sangat fatal. Cepat tapi tidak tepat juga percuma. Tidak akan sembuh.”
Dia benar. Diabetes adalah penyakit berbahaya. Juga perkataannya bahwa pengobatan harus tepat dan cepat juga benar. Tidak ada yang dapat menyangkal. Hanya saja, menurut saya ini nasihat sia-sia.
Tidak ada yang tahu pengobatan yang tepat itu seperti apa. Tubuh tiap orang unik, tidak ada yang sama. Satu obat sangat manjur bagi satu orang, bisa saja tidak cocok untuk orang lain. Karena mungkin organ tubuh lain lemah. Misal obat penyakit diabetes yang mengandung asam menjadi bumerang ketika pasien punya asam lambung berlebih.
Bisa saja mengobati satu penyakit ternyata menimbulkan penyakit lain.
Saya ingat ayah saya punya penyakit batu ginjal. Untuk mengobati ini, ayah meminum jamu seduh daun-daunan. Bertahun beliau meminum jamu seduh. Ayah termasuk orang yang istiqomah. Jika sudah memulai sesuatu akan terus dikerjakan sampai berhasil. Dia tidak pernah lowong meminum jamunya. Dua kali sehari selalu meminum jamu, pagi dan sore. Alhasil, batu ginjalnya tidak berkembang lagi, bahkan cenderung mengecil.
Tapi jamu ini berpengaruh pada organ hati. Hati ayah mengeras berakibat tidak dapat menyaring darah dengan sempurna. Kata dokter ini disebut hepatitis sirosis. Dan penyakit sirosis ditemukan sudah tingkat lanjut di tubuh beliau. Penyakit ini mengantar beliau meninggalkan dunia fana selamanya. Alih-alih mengobati batu ginjal, ayah kami terkena penyakit yang lebih berbahaya.
Maka kriteria “tepat” ini sangat buram, tidak jelas. Pengobatan yang dalam sebulan menampakkan tanda-tanda membaik tidak dapat memprediksi hasil jangka panjang. Siapa yang tahu bahwa organ lain tidak terkena dampak buruknya? Siapa tahu mengobati satu penyakit malah membangkitkan penyakit lain?
Pengobatan yang dalam sebulan tidak menampakkan tanda membaik mungkin saja merupakan pengobatan yang tepat. Karena obat yang benar dapat saja mengobati hal-hal kecil di sekitar penyakit sebelum “menyerang” penyakit yang utama.
Ibarat pohon, dipotong dahulu ranting dan cabang yang kecil. Sebelum pokok utama yang besar ditebang. Karena menebang yang pokok dengan masih banyak ranting dapat menimbulkan kerusakan parah di sekitar.
Selain itu, semua obat di samping mengandung daya penyembuh juga mengandung racun. Tidak ada obat yang tanpa efek samping. Benar demikian? Ya tidak juga sih. Tapi obat tanpa efek samping berarti obat dengan dosis yang teramat kecil. Sehingga tidak dapat diharapkan sembuh dengan dosis segitu. Jadi buat apa minum obat kalau tidak menyembuhkan?
Obat dengan dosis tinggi dapat mengobati penyakit, tapi dapat dipastikan mempunyai efek samping. Berita jeleknya, tidak semua efek samping dapat diketahui pasti.
Itulah sebabnya dokter selalu memberikan obat tidak hanya satu. Teman pernah terkena kanker payudara. Tiap hari harus makan lima belas macam obat. Jika bepergian, selalu membawa satu tas penuh berisi obat. Untuk sarapan, makan obat saja sudah kenyang.
Kemungkinan besar tidak semua obat itu untuk mengobati kanker. Ada obat untuk mengobati efek samping dari obat lain. Misal ketika minum satu obat maka dia menjadi mual. Maka juga disandingkan dengan obat anti mual.
Nasihat pengobatan harus “tepat dan cepat” ini menjadi sia-sia karena tidak ada orang yang mau mengobati dengan pengobatan yang tidak tepat. Juga tidak ada yang mau berlambat-lambat mengobati penyakit. Jika terkena penyakit tentu kita ingin segera sembuh.
Ibarat lapar dan diberi nasihat: Makanlah. Tentu ini nasihat yang benar. Semua orang tahu inilah yang harus dilakukan. Hanya saja pasti ada penghalang mengapa orang tersebut lapar dan tidak makan. Mungkin tidak punya uang untuk membeli makanan. Mungkin sedang diet mengurangi makan. Mungkin sedang puasa. Atau sebab lain.
Seperti mahasiswa dengan nilai jelek diberi nasihat: Belajarlah. Ya, tentu dia tahu belajar akan menaikkan nilai. Hanya saja ada kendala-kendala lain. Misal kemalasan lebih menguasai, atau punya banyak pekerjaan lain, atau lingkungan yang selalu mengajak main dan nongkrong, atau masalah keluarga, atau lainnya yang menghalanginya belajar.
Nasihat itu berguna. Tapi ada juga nasihat yang menyebalkan. Kita menyebutnya nasihat basi. Kita sudah tahu dan ketika mendengar nasihat itu dalam hati kita mengatakan: “Iya, iya. Semua orang juga tahu itu.”
Menurut anda, perkataan “harus berobat dengan tepat dan cepat” ini apakah merupakan nasihat basi?
Eh, satu lagi pertanyaan, perkataan “hidup ini singkat” apakah juga merupakan nasihat basi?
Tangerang Selatan, Maret 2024