Oleh: Bambang Santoso
Kejadiannya di hari Ahad awal bulan Desember 2022. Istri salah satu teman berenang di kolam renang. Selesai berenang, dia berjalan di pinggir kolam menuju ke tempat ganti pakaian. Tak terduga kakinya menendang satu keramik tajam. Ini melukai jempol kaki kanannya. Tidak begitu besar lukanya, tapi tampaknya dalam karena darah terus mengalir. Dia membersihkan luka, mengoles obat luka di atasnya, dan membalut jempol kaki dengan perban. Dipikir akan sembuh dalam tiga empat hari ke depan.
Keesokan harinya – hari Senin – dia mengajar seperti biasa sebagai guru di salah satu SMK. Tapi saat malam hari tubuh terserang demam. Besoknya demam tak menurun sehingga dia memutuskan tidak mengajar hari Selasa itu. Istirahat di rumah dan tidur sepanjang hari. Membeli obat yang dijual bebas di warung dekat rumah.
Tapi keadaan tidak membaik selama dua pekan setelahnya. Luka masih berdarah dan demam terus ada walau tak tinggi. Maka dia diantar suami ke rumah sakit. Di sana luka dibersihkan, diobati, diperban lagi. Juga obat minum diberikan. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah secara keseluruhan. Ditemukan dia mengidap diabetes. Walau angkanya, menurut saya, tidak begitu tinggi yaitu 270. Kata dokter, ini yang menyebabkan luka sukar kering. Sehingga ketika terus basah, luka tidak kunjung sembuh. Luka ini yang menyebabkan infeksi dan radang sehingga tubuh demam, suhu badan tak kunjung menurun.
Dia dirawat selama dua pekan di rumah sakit itu. Kemudian rawat jalan dengan obat minum serta obat luka luar. Di rumah luka dirawat dan obat diminum dengan telaten.
Sudah dua pekan tidak juga sembuh, dia ke rumah sakit lagi. Tapi ganti rumah sakit karena ingin ada second opinion.
Di rumah sakit kedua juga dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Hasilnya tetap sama, divonis diabetes. Luka dibersihkan, diobati, dan diperban lagi. Obat minum dan infus terus diberikan. Juga obat cair untuk dioleskan di luka. Diputuskan dirawat lagi di rumah sakit kedua.
Sepekan kemudian tubuh mulai menguat, diperbolehkan pulang dengan dibekali obat minum dan obat luka.
Tapi tetap luka tidak kering. Terus basah dan mengeluarkan darah. Karenanya tetap diperban agar darah tidak banyak mengalir keluar.
Ganti lagi tempat pengobatan, kali ini ke rumat atau rumah obat khusus untuk luka diabetes. Di sini tidak menerima rawat inap, hanya ada rawat jalan. Diberi nasihat supaya luka sama sekali tidak menyentuh air. Jika mandi sebaiknya dilap-lap saja badan agar air tidak menyentuh luka di jempol kaki. Wudhu untuk shalat juga tidak dianjurkan menyiram kaki. Diusap saja di atas perban. Teman saya berkata: “Baru tahu aturan ini setelah dua bulan luka tidak kering.” Seterusnya luka dijaga agar tidak terkena air. Sekarang istri selalu di tempat tidur karena untuk menapak, luka terasa nyeri menusuk-nusuk.
Tapi rumat ini ternyata cukup dalam merogoh kocek. Tiap datang harus membayar empat ratus sampai lima ratus ribu rupiah. Dan luka harus dibersihkan setiap hari ke sana. Juga obat-obat harus dibeli. Pernah dua hari tidak ke rumat, akibatnya luka menjadi membesar dan banyak nanah. Saat ke rumat dimarahi oleh perawat: “Ini harus tiap hari dibersihkan, pak. Jangan kelewat.”
Ketika dua rumah sakit sebelumnya menerima pembayaran BPJS, rumat yang ini tidak menerima BPJS. Sehingga semua harus dibayar pribadi. Pengeluaran cukup tinggi, dan teman saya bukanlah orang yang berkecukupan.
Dua pekan di rumat, suami memutuskan untuk berhenti berobat ke sana. Karena keadaan keuangan tidak memungkinkan.
Namun luka di jempol kaki masih belum sembuh. Tubuh lemas karena semua energi terserap ke luka dan untuk melawan bakteri infeksi. Pengobatan dilanjutkan dengan memakai seorang tabib. Tabib ini dua kali sehari ke rumah membersihkan luka dan mengobati dengan obat-obatan herbal. Juga memberikan suplemen berupa makanan sehat.
Tapi kondisi fisik makin menurun. Istri teman ini tidak mau makan. Rasanya semua makanan tidak enak, pahit. Hanya mau makan buah jeruk saja. Ini menyebabkan badan lemah, kondisi menurun. Tidak punya kekuatan untuk melawan penyakit. Yah, tentu saja. Kalau tidak ada makanan masuk ke badan, dari mana kekuatan untuk melawan?
Setelah dua pekan diterapi, keadaan terus menurun dan puncaknya tubuh istri teman ini menjadi sangat lemah, sampai pingsan tak sadarkan diri.
Segera dilarikan ke rumah sakit. Kali ini pindah ke rumah sakit umum daerah. Kalau dua rumah sakit sebelumnya swasta, sekarang mencoba ke rumah sakit pemerintah.
Di sana diterima sementara di IGD. Langsung diinfus, diberi makanan dan obat-obatan lewat selang. Luka jempol dibersihkan, diganti perban. Ketika ada kamar kosong, dipindah ke kamar perawatan.
Untuk dapat membersihkan luka, kaki harus dibedah. Sehingga dijadwalkan untuk masuk ruang operasi. Pada hari terjadwal, istri teman dibawa ke ruang operasi. Dan diamputasi jempol kaki karena sudah membusuk. Teman saya protes karena dokter tidak bertanya terlebih dahulu sebelum melakukan amputasi. Dan formulir diminta ditandatangani setelah tindakan dilakukan. Teman saya tanda tangan walau dengan menggerutu. Sekarang istrinya kehilangan jempol kaki.
Dirawat di RSU beberapa hari, bahkan sempat dimasukkan ke HCU karena kondisi menurun. Setelah membaik dikembalikan ke ruang rawat biasa.
Dioperasi yang kedua karena luka tak kunjung sembuh. Pembersihan luka memerlukan pembedahan. Dan ketika dibedah, nanah sudah menjalar naik ke betis. Dokter keluar dari ruang operasi dan meminta persetujuan suami untuk mengamputasi kaki kanan istri sampai lutut.
Teman saya menolak keras. Sangat menyedihkan kalau istri diamputasi sampai lutut. Dapat dibayangkan pasti akan menjadi cacat selamanya. Berjalan selalu memakai tongkat. Tidak dapat berjalan normal. Menjadi tontonan dan bahan belas kasihan semua orang. Naik turun angkot atau bis dengan susah payah. Bagaimana kalau naik tangga? Pasti kesulitan dan penuh kepayahan mengeluarkan banyak usaha.
Mereka berharap kaki kanan sang istri masih dapat diselamatkan. Dengan perawatan telaten, obat yang selalu diminum, kebersihan dijaga, maka kaki tidak perlu diamputasi, demikian pemikiran teman saya. Dia bahkan sempat memarahi dokter karena anjuran amputasi kaki ini. Dan dokter balik marah ke teman saya: “Saya tidak lagi mau mengurusi istri anda lagi. Silakan pulang dalam dua hari nanti.”
Dikeluarkan surat “discharge” untuk istrinya. Dua hari kemudian, istri sudah kembali ke rumah. Dan kembali lagi ke fase perawatan rumah.
Dengan telaten mereka – suami dan anaknya – membersihkan luka. Mengganti perban dua kali sehari. Meminumkan obat dengan tanpa bolong sekali pun. Menghibur dengan setiap saat menemani.
Tapi tetap saja sang istri tidak mau makan. Ini menyebabkan tubuh lemas dan makin lemas. Tidak ada tenaga untuk bergerak, berjalan. Dan juga tidak ada kekuatan untuk melawan penyakit.
Beberapa hari di rumah, keadaan kembali menurun. Sang istri pingsan tak sadarkan diri. Dipanggil ambulan untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Kali ini pilihan kembali ke RSUD.
Di sana dimasukkan IGD. Ketika cek darah ternyata kadar gula dalam darah terukur 425. Dari 270 naik drastis menjadi sangat tinggi.
Di IGD dirawat selama tiga hari. Keadaan makin menurun sehingga dimasukkan ke HCU. Sepekan berada di HCU, dia meninggal.
Dari luka di kolam renang hingga meninggal hanya sekitar tiga bulan. Ini membuat teman saya sangat terpukul. Ternyata penyakit diabetes itu tidak dapat dibuat main-main. Bahkan kanker pun tidak secepat itu merenggut nyawa seseorang.
Kondisi istri sebelum insiden kolam renang itu baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Kalau pun ada, ringan dan tak dihiraukan. Tapi luka di jempol membuka mata bahwa diabetes tidak dapat dianggap main-main.
Teman saya mengatakan: “Satu hal yang saya ambil sebagai pelajaran adalah bahwa diabetes sangat berbahaya. Penanganan harus memenuhi dua hal: tepat dan cepat. Tepat tapi tidak cepat ibarat berlomba dengan penyakit. Makin lama luka makin menjalar. Jika lambat maka penyakit tidak terkejar dengan obat. Penyakit makin menjadi parah. Dan dapat sangat fatal. Cepat tapi tidak tepat juga percuma. Tidak akan sembuh.”
Tangerang Selatan, Maret 2024