Porsinya Kurang Besar

Ini cerita dua pasang suami istri. Yang sepasang di dalam mobil, yang sepasang lagi di sepeda motor.

Seorang suami mengajar istrinya menyetir mobil. Pertama suami mengendarai mobil dengan sang istri di samping. Dia berhenti di pinggir jalan, menunjukkan ke istrinya panel-panel di mobil. Ditunjukkan gas, rem, gigi persneling. Juga bagaimana mulai memajukan kendaraan, bagaimana berhenti, lampu isyarat belok kiri dan kanan, dan segala macam.

Setelah dirasa cukup pelajaran teori, dimulailah pelajaran praktik. Suami keluar dari mobil, berganti posisi dengan istri. Sekarang istri duduk di belakang kemudi, suami duduk di kursi penumpang di samping istri.

Pada saat itu ada seorang ibu lain menyeberang jalan menuju suaminya yang menunggu di atas motor. Posisi motor suami ada di pinggir jalan, di depan mobil yang sedang dipakai belajar berkendara.

Saat ibu itu berjalan mendekat ke suami dan berada di depan mobil, tiba-tiba mobil bergerak perlahan dan makin melaju. Tak dapat dicegah, benda besi itu menabrak ibu yang sedang melintas, dan juga menabrak motor suaminya. Motor dan suami masih beruntung karena posisi agak di kiri mobil. Motor tergeser  menepi dan keluar dari garis lintasan mobil. Suami terlempar ke kiri. Tapi istrinya mengalami nasib nahas. Tertabrak dan terus terbawa mobil sampai tergencet tiang listrik. Ibu itu meninggal di tempat. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.

Suami yang terlempar dari motor mendapat luka walau tidak parah. Tapi betapa kemudian hatinya hancur. Sedih, merana, pahit, getir, kalbu remuk rendam belumlah cukup menggambarkan kesedihan hatinya. Istri meninggal di depan mata tanpa dia dapat melakukan apa pun. Betapa mengenaskan kejadian demikian.

Wanita yang mengendarai mobil sangat terguncang. Tentu saja dia tidak sengaja menabrak dan membunuh orang. Tapi penguasaannya atas mobil belumlah mumpuni. Belum terbentuk gerak reflek untuk menginjak rem. Sang pengajar yaitu suami wanita ini tidak punya kekuasaan untuk menghentikan mobil. Karena dia duduk di kursi penumpang yang tidak punya akses ke kontrol mobil. Keduanya sangat menyesal tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan.

—oOo—

Terungkap fakta yang lebih memilukan. Fakta pertama, ibu yang meninggal ternyata sedang mengandung 5 bulan. Sang jabang bayi meninggal bersama ibunya. Fakta kedua, suami istri tersebut sudah menikah 5 tahun dan belum dikaruniai anak. Ini adalah kehamilan pertama. Yang sangat ditunggu-tunggu oleh mereka berdua. Yang selalu dipanjatkan doa-doa khusuk untuk ini. Tidak hanya oleh pasangan ini, bayi ini ditunggu-tunggu oleh keluarga besar mereka berdua. Yang tentunya kehamilan pertama ini dijaga dengan ekstra super hati-hati oleh pasangan itu. Mimpi indah memperoleh momongan luluh lantak karena seseorang belajar menyetir mobil di jalan umum.

—oOo—

Kejadian ini menunjukkan betapa faktor keamanan masih menjadi prioritas terakhir bagi kebanyakan warga masyarakat. Mungkin termasuk saya.

Saya pernah bersama teman-teman membuka bisnis restoran Indonesia di Abu Dhabi. Letaknya di basement sebuah bangunan.

Beberapa bulan berjalan, restoran cukup laris dikunjungi penyantap kuliner. Terutama – tentu saja – oleh komunitas masyarakat Indonesia di sana. Satu saat ada pengunjung warga negara Eropa masuk ke restoran kami . Begitu masuk, dia melihat berkeliling dengan seksama. Kemudian bertanya ke saya, “Pintu daruratnya di mana ya?”

Duar! Pertanyaan tak terduga ini tidak bisa saya jawab. Pertanyaan ini tidak pernah terlintas di pikiran saya walau pun sudah enam bulan kami memakai ruangan itu.  Dari lantai dasar memang hanya ada satu pintu turun ke basement tempat restoran kami. Tidak ada pintu lain. Jika ada kebakaran di jalur pintu, maka satu-satunya pintu keluar tertutup. Pengunjung terperangkap di dalam.

Pertanyaan ini membuka mata saya betapa keamanan menjadi prioritas utama bangsa-bangsa maju dunia. Masyarakat Indonesia pelanggan restoran kami belum pernah mempertanyakan pintu darurat ini. Juga saya. Juga para karyawan.

—oOo—

Kami pernah berwisata bersama masyarakat Indonesia ke wilayah yang berbukit-bukit di dataran tinggi. Tempatnya hijau, sejuk, udara bersih. Sementara kami para orang tua menggelar tikar dan mempersiapkan makan siang, anak-anak berlomba menaiki bukit. Suasana sangat meriah.

Ada teman yang warga negara Belanda ikut berwisata bersama kami. Kakek neneknya  orang Indonesia tapi sejak lahir dia tinggal di Belanda. Saya lihat anaknya tidak ikut naik ke bukit. Anak ini saya taksir masih umur SD kelas 2 atau 3. Dari pandangannya, saya tahu anak ini juga ingin menaiki bukit mengikuti anak-anak lain.

Saya dekati anak itu dan bertanya, “Kenapa tidak ikut naik ke bukit?”

Dia menjawab, “Karena tidak ada orang dewasa yang ikut naik.”

Jdar! Saya benar-benar tertegun mendengar jawabannya. Anak sekecil ini sudah tahu konsep keamanan. Memang tidak ada orang dewasa ikut naik bukit. Dari bawah kami dapat melihat anak-anak kami mendaki bukit sehingga kami tidak merasa perlu ikut naik. Tapi saya akui, kami tidak bisa melihat detail bukit. Mana bagian terjal, mana yang landai. Mana sisi rapuh, mana yang kokoh. Mana jalan yang aman didaki, mana yang tidak aman karena licin. Sedang anak-anak yang naik bukit itu perhitungannya masih belum masak untuk memilih jalur. Dalam hati saya memuji sikap dan jalan pikiran anak Belanda ini. Keamanan menjadi prioritas pertamanya, mengalahkan keinginan hati ikut mendaki.

—oOo—

Saya pernah menerima video kejadian balapan liar anak-anak muda. Terjadi kecelakaan. Satu anak muda meninggal dengan kepala tidak berbentuk lagi. Ini karena balapan di jalan raya tanpa helm maupun pelindung badan, dan tanpa latihan memadai dengan pelatih berpengalaman. Bermodal keberanian dan nekad, tanpa memikirkan keamanan.

Kadang kita hanya punya satu kesempatan untuk lolos dari lubang jarum. Jadi, mengapa tidak menghindari lubang jarum itu dan mencari jalan yang lebih lapang?

Ketika menerangkan perlunya backup data ke mahasiswa, saya sering mengibaratkan backup data itu seperti alat pemadam kebakaran. “Kita harus punya. Tapi dengan harapan kita tidak akan pernah memakainya”. Kedengaran seperti kontradiksi. Untuk apa punya jika berharap untuk tidak pernah memakai? Ya, karena kalau memakai alat itu berarti ada kebakaran. Kita tidak ingin ada kebakaran. Backup data juga demikian. Ketika kita memakai backup data, berarti ada kerusakan dalam sistem komputer kita. Hal yang tidak kita harapkan.

Benar, keamanan itu tidak berguna. Kecuali ada kejadian luar biasa yang peluang terjadinya adalah satu banding seratus. Tapi mana yang anda pilih, berjalan menerobos hutan dengan kemungkinan 1 persen digigit ular kobra, atau lewat jalan raya yang lapang walau lebih memutar? Mana yang anda pilih, naik motor tanpa helm karena sudah pernah melintasi daerah itu seratus kali tanpa kecelakaan, atau memilih tetap memakai helm untuk mempersiapkan diri dengan kecelakaan yang tidak pasti terjadi? Tentu memakai helm lebih bijak.

Sudah waktunya memberi porsi yang lebih besar pada faktor keamanan. Pemikiran ini juga harus dikedepankan saat menghadapi Covid-19. Lebih baik menghindari resiko tertular daripada dengan gagah mengatakan, ”Saya sehat. Tidak akan tertular Corona.”

Pamulang, Mei 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *