Tiga Pertanyaan

Makam

Saya mengikuti diskusi atau debat di berbagai group mengenai aliran-aliran dalam Islam. “Golongan saya benar, golongan kamu salah”, dibalas dengan “Tidak, golongan kami shohih, golongan anda tidak berdasar”, begitulah kira-kira debatnya.

Saya kebanyakan hanya sebagai pengamat. Mau ikutan nimbrung, ilmu masih sedikit banget. Malu dan tahu dirilah. Ditambah adanya rambu-rambu silaturahim bahwa kata-kata tidak boleh membuat pihak lain sakit hati. Ditambah kemajemukan para anggota group, jangan-jangan nanti tulisan dirasa orang lain mengiris. Jangan-jangan perkataan ini menyakitkan pihak lain. Semua itu membuat tangan tertahan untuk menulis. Diskusi yang seru sebenarnya.

*****

Di tempat lain, di peristiwa lain, tadi malam teman meninggal di rumah sakit Tugu Ibu, Jalan Raya Bogor. Masih muda sebenarnya, umur 43 tahun. Kami melayat ke rumah sakit, menghibur sang istri yang ditinggal pergi suami, menyaksikan jenazah didorong ke ambulan untuk selanjutnya dibawa ke Solo. Di sana jenazah akan dikebumikan.

Banyak teman datang melayat. Saya iri kepada jenazah yang membuat banyak orang merasa kehilangan. Semoga beliau diterima di sisi-Nya, diampuni kesalahan dan dosanya. Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu.

*****

Ingatan saya menerawang, kira-kira apa yang akan ditanya di alam kubur ke teman saya. Terbayang tiga pertanyaan alam kubur yang ditanyakan oleh malaikat Munkar dan Nakir.

“Siapa Tuhanmu?”    (Man Robbuka?)

“Apa agamamu?”        (Wa ma dinuka?)

“Siapa Nabimu?”        (Wa ma hadza ar-rujululladzi bu’itsa fikum?)

Kok kayaknya tidak ditanyakan:

– Apakah engkau Syiah atau Sunni?

Juga tidak:

– Golongan apa yang engkau anut?

Apalagi:

– Partai apa yang engkau pilih?

Tidak juga:

– Bekerja di perusahaan mana? Di kota mana?

***********

Setelah meninggal, saya lihat pertanyaan-pertanyaan mengenai golongan itu menjadi ‘insignificant‘, sama sekali kecil, tidak berarti, babar blas tidak dipedulikan.

Golongan yang tadinya kita bela mati-matian, madzhab yang kita cengkeram erat, semua terpinggirkan, dibuang begitu saja. Diganti dengan tiga pertanyaan dasar yang sangat basic. Saya katakan basic karena anak SD pun bisa menjawabnya. Itu kalau di dunia.

Tapi di hadapan ada adzab kubur yang tidak terperi. Membuat badan gemetar ketakutan (eh, apa kita masih punya badan?), tidak dapat berpikir wajar. Jika bisa menjawab tiga pertanyaan tanpa grogi, itulah kemenangan sejati.

Kemudian, apa perlu debat golonganku-golonganmu? Ini aliranku dan itu aliranmu? Mana yang benar, tafsirku atau tafsirmu?

Beberapa debat berakhir dengan buruk: mereka saling mencaci dan menghujat. Kemudian menjadi musuh satu sama lain. Ada juga yang menawarkan mubahalah: mari sama-sama berdoa semoga Allah swt menurunkan laknat bagi yang salah. Astaghfirullah. Inikah muslim yang diimpikan Rasul saw?

Debat yang berakhir baik-baik pun tidak pernah ada yang mengaku salah. Paling banter mengatakan “kita sepakat untuk tidak sepakat”. Atau ayat al Kafirun dipakai: bagiku agamaku, bagimu agamamu. Entah bagi yang temu darat. Apakah mereka bisa “mengislamkan” muslim yang lain, atau berakhir seperti diskusi di dunia maya.

Bagi saya, masa-masa gejolak sudah lewat. Dahulu saya suka menghadiri majlis dengan judul bombastis: “Menggugat Syiah” ataupun “Dosa-dosa Islam Jamaah” atau “Membongkar Kesalahan NII” atau “Membuka Kedok Ahmadiyah”, atau forum semacam. Terasa kita di jalan Sirothol Mustaqim sementara orang lain di jalan “maghdu bi alaihim” atau di “dholin”. Serasa kita benar-benar benar sedang orang lain jelas sudah kesesatannya.

Sekarang, minat pengajian saya sudah berubah. Tidak lagi datang ke forum-forum penghujatan. Ceramah Ustadz Yusuf Mansur dan Aa Gym lebih saya sukai. Santai, lemah lembut, tidak ada hujatan, cacian, ataupun pencarian kesalahan golongan lain. Entah karena usia yang sudah mulai menua, atau bosan dengan debat berkepanjangan tiada akhir.

Saya pikir ulama-ulama besar kaliber dunia yang berilmu luas pun tidak bisa sepakat dengan satu pendapat atau pemikiran. Terus, bagaimana saya yang berilmu minim ini ingin mencoba menyatukan golongan-golongan besar dunia? Tahu dirilah… Lebih baik mundur mengkerut dan ngumpet di rumah siput saya.

Depok, pertengahan Feb 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *