Tidak Menyusahkan Orang

Tetangga saya sudah berumur 65 tahun. Eh, maaf, hapus kata “sudah”. Karena sebentar lagi saya juga akan berumur segitu. Dan saya akan sakit hati kalau ada yang mengatakan “Dia *sudah* berumur 65 tahun”. Owa….

Istrinya meninggal 25 tahun yang lalu. Terkena serangan jantung di waktu subuh. Sampai sekarang tetangga saya tidak menikah lagi.

“Saat itu anda berusia 40 tahun. Masih cukup muda. Kenapa terus tidak menikah lagi sampai sekarang?” tanya saya ingin tahu.

“Istri saya tidak tergantikan,” jawabnya singkat.

“Lho kok bisa? Anda tidak bisa move on ya?” ledek saya.

“Dia sudah mempersiapkan hari kematiannya. Tidak ingin menyusahkan orang lain,” kata dia tidak mempedulikan ledekan saya.

“Bagaimana anda bisa mengatakan begitu?” tanya saya.

“Malam sebelum istri saya meninggal, dia menunjukkan semua keuangan yang dikelolanya. Selama ini memang istri pengelola keuangan keluarga. Dia tidak bekerja, tapi saya serahkan semua gaji ke istri untuk dikelola,” kata tetangga.

“Jadi anda tidak memegang uang?” tanya saya.

“Hanya sekedarnya. Sekedar untuk transpor dan makan siang di kantor. Kalau kurang, saya minta lagi ke istri,” katanya tersenyum, merasa lucu dengan kata-katanya sendiri.

“Apa yang terjadi malam itu?” tanya  saya.

“Dia keluarkan semua buku tabungan. Ini tabungan bank A. Ini kartu ATM-nya. PIN-nya adalah sekian sekian. Ini tabungan bank B. Ini kartu ATM-nya dengan PIN sekian sekian. Ini deposito bank C. Jatuh tempo tanggal sekian. Ini asuransi perusahaan D. Tiap tahun bayar sekian. Ini sertifikat hak milik rumah. Ini IMB. Ini pembayaran PBB-nya”, kata dia menirukan kata-kata istrinya. Semua rinci dijelaskan.

“Apa anda tidak merasa aneh?” tanya saya.

“Ya aneh. Saya tanya istri kenapa diterangkan semua ke saya. Istri hanya menjawab ini penting. Suami harus tahu segala keuangan. Tidak hanya istri,” kata tetangga menjelaskan alasan istrinya.

“Terus?”, tanya saya kepo.

“Pagi subuh istri meninggal kena serangan jantung. Tidak ada keluhan. Tidak ke rumah sakit sama sekali. Malam saat menjelaskan keuangan itu seakan dia tahu waktunya sudah tidak banyak. Jadi saya harus tahu segala hal yang ditinggalkannya. Benar-benar tidak menyusahkan orang,” kata dia.

“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun,” kata saya.

“Beberapa hari sebelumnya istri melatih belasan anak kecil untuk tampil di acara halal bihalal keluarga. Latihan menyanyi dan menari. Latihan sudah selesai, dan anak-anak siap tampil. Istri juga yang membelikan baju seragam anak-anak itu untuk pentas. Semua perlengkapan sudah diberikan ke pengurus acara halal bihalal sehari sebelumnya. Jadi tidak ada hutang apa pun. Tugas sudah diselesaikan dengan baik. Sayang, pas hari pentas istri saya sudah tidak ada. Dia tidak bisa menyaksikan anak-anak itu berpentas,” kata dia menerawang.

Melihat matanya berkaca-kaca, saya tidak berani meledek lagi. “Sayang sekali,” komentar saya singkat.

“Dua hari sebelumnya istri saya pesan kue untuk dikirim kerumah. Subuh dia meninggal, jam 8 ada telepon dari pembuat kue meminta detail alamat rumah. Saya tanya buat apa, dia jawab mau kirim kue pesanan istri saya. Jadilah itu kue suguhan bagi para tamu yang datang melayat. Bayangkan, dia sendiri yang pesan kue untuk orang yang melayatnya,” ujar tetangga sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum sedih. Matanya melihat jauh ke depan.

“Alangkah pas waktunya,” kata saya sekedar mengisi kelenggangan.

“Kakak istri saya ada dua. Satu di Samarinda, satu di Riau,” kata tetangga.

“Oh, mereka diberitahu?” tanya saya bodoh.

“Ya. Kakak pertama yang di Samarinda saya telepon jam 5 pagi. Dia panik. Jaman itu belum ada fasilitas beli tiket online. Dia bertanya-tanya ke tetangga tiket ke Jakarta. ‘Kebetulan’ tetangganya ada yang menjabat Kapolres. Langsung bapak Kapolres sendiri yang mengantarkan kakak ke bandara dan langsung dapat tiket jam 8 pagi dengan referensi bapak Kapolres. Sehingga kakak dapat sampai tepat waktu menghadiri pemakanan istri saya siang itu,” katanya.

“Benar-benar dimudahkan,” komentar saya.

“Kakaknya yang satu lagi lebih heboh. Dia di Riau. Jauh dari kota Pekanbaru, sekitar 40 kilometer. Tidak punya telepon. Maklum saat itu belum ada hape dan sambungan telepon rumah sangat terbatas. ‘Kebetulan’  kami punya kartu nama toko kelontong di Pekanbaru tempat kakak biasa membeli barang keperluannya. Kami telepon toko kelontong itu dan pemiliknya berjanji akan memberitahu kakak berita kematian ini. Ternyata pemilik toko ini sendiri yang pergi ke rumah kakak sejauh 40 kilo. Memberitahu berita kematian sang adik. Kemudian menunggu kakak bersiap-siap pergi ke Jakarta. Pemilik toko ini pula yang mengantarkan kakak ke bandara dengan mobilnya. Sehingga kakak dapat menghadiri pemakaman adiknya,” kata tetangga mengenang keajaiban demi keajaiban dan kemudahan demi kemudahan seputar kematian istrinya.

“Sangat luar biasa,” saya kehabisan kata-kata.

“Ya. Banyak juga keajaiban yang off-the-record yang cukup menjadi rahasia kami berdua,” kata tetangga sambil tersenyum getir-getir lucu.

Saya tahu ini perkara kamar pribadi mereka. Yang orang lain sebaiknya tidak perlu tahu. Saya menahan diri untuk bertanya lebih lanjut.

Kenangan manis yang tidak tergantikan. Sekarang tetangga saya cukup puas dengan ditemani dua anaknya yang sudah beranjak dewasa. Satu sudah menikah dan mempunyai anak. Yang kedua masih menunggu dilamar orang.

Mungkin ada hal-hal di dunia ini yang memang tak tergantikan. Ya…, kata orang tidak ada dua mutiara yang sama persis.

Pamulang, Februari 2020

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *