Lokalisasi PSK

Lokalisasi

Entah berapa kali nama profesi ini berganti. Dari pelacuran, berganti menjadi wanita tuna susila, kemudian prostitusi. Terakhir singkatan PSK (Pekerja Seks Komersial) dipakai. Apa sebabnya nama ini terus berganti, hanya para pembuat istilah yang mengetahuinya. Mungkin supaya tidak rikuh ketika ketahuan memakai.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah berujar ingin membuat lokalisasi di Jakarta. Tujuannya agar memudahkan Dinas Kesehatan melakukan penyuluhan, pencegahan dan penyembuhan HIV/AIDS.

Profesi tertua di dunia, demikian dikatakan, tidak akan bisa dihapuskan. Di DKI Jakarta pun ada meskipun Kramat Tunggak telah ditutup. Prostitusi ini dilakukan sembunyi-sembunyi di lokasi yang berpindah-pindah. Dan ini bisa menyebabkan resiko penyakit kelamin serta HIV/AIDS menjadi tinggi. Inilah yang menjadi perhatian bapak Wakil Gubernur DKI.

Kramtung telah dihapuskan di DKI, tapi dilihat perlu dibuat lagi. Benarkah demikian?

Sangat Kontras

Lokalisasi prostitusi di Surabaya ditutup oleh Walikota Surabaya. ‘’Apakah para orang tua bersikap egois hanya demi perut, tetapi merugikan anak-anak kita?! Saya kira tidak,’’ kata Walikota Surabaya ibu Tri Rismaharini saat pidato pembukaan deklarasi Surabaya Bebas Lokalisasi di Taman Bungkul, Surabaya, Nopember 2013 silam. Kemudian diikuti dengan penutupan lokalisasi di daerah Tambakasri, Klakah Rejo, dan juga Dupak Bangunsari.  Kemudian berturut-turut lokalisasi Sememi, Jarak dan Dolly nantinya juga akan ditutup.

Ini dilakukan oleh pemda Surabaya setelah ibu Walikota melakukan survei di sekolah-sekolah dekat lokalisasi. Bahkan beliau juga mengajar di sekolah-sekolah itu. Ibu Walikota menemukan pandangan anak-anak itu kosong, tidak terfokus. “Setelah saya telusuri, ternyata ada benang merah yaitu lokalisasi,’’ katanya. Setelah itu beliau setuju dengan keputusan penutupan seluruh lokalisasi di Surabaya.

Sungguh kontras. Sementara DKI Jakarta sedang merencanakan untuk membuka kembali lokalisasi. Dengan alasan prostitusi juga tetap ada di DKI, tidak dapat diberantas sama sekali. Daripada gelap-gelapan lebih baik dipusatkan dan terbuka sehingga pengontrolan lebih baik, penyuluhan dan pencegahan penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan.

Pertanyaan Tak Berjawab

Yang jadi pertanyaan, apakah dengan adanya lokalisasi maka praktek liar PSK akan hilang? Tidak ada jaminan.  Apakah akan berkurang? Tidak ada jaminan juga. Akan lebih mudah digerebek? Mengapa tidak digerebek sekarang saja tanpa adanya lokalisasi?

Jadi tetap saja penyebaran HIV/AIDS tidak terkendali. Karena jika prostitusi liar tetap ada, maka penyebaran penyakit kelamin dan HIV/AIDS tetap tinggi.

Kemudian jika ada lokalisasi, apakah itu menjamin ‘pekerja-pekerja’ (baca: PSK) di dalamnya hanya buka praktek di dalam? Bukankah terbuka juga peluang pekerja tersebut dipanggil keluar dan melakukan praktek di motel maupun tempat lainnya? Jadi, bukankah lokalisasi tidak menutup peluang praktek liar para PSK? Bahkan lokalisasi bisa menjadi tempat bertemu saja bagi para penjaja dan pencari cinta semu maupun makelarnya. Kemudian praktek bisa dilakukan di mana saja tergantung kesepakatan.

Sedang dampak lokalisasi terutama ke anak-anak sekitar sangat besar. Anak-anak akan lebih cepat terekpos pada ‘kegiatan orang dewasa’. Mungkin dengan cara mengintip, mendengar perkataan dan canda kotor para lelaki hidung belang maupun para PSK. Kemudian ‘pengetahuan’ ini dengan cepat beredar di antara anak-anak itu. Lalu siapa bertanggung jawab ketika mereka menjadi dewasa – dalam artian yang buruk – lebih cepat? Akibat berikutnya dapat diruntut dengan logika: mencari pelampiasan, keperawaranan tidak dihargai tinggi, canda kotor yang mengikuti lingkungan mereka, dan pandangan kosong ketika di kelas karena bayangan indah hasil mengintip, tidak bisa konsentrasi ke pelajaran. Alangkah panjangnya akibat yang ditimbulkan ke anak-anak sekitar. Mungkin ini sebabnya ibu walikota Surabaya berujar: ‘’Apakah para orang tua bersikap egois hanya demi perut, tetapi merugikan anak-anak kita?” Kerusakan pada kejiwaan anak-anak yang ditimbulkan oleh lokalisasi ini sangat parah, bahkan sampai pada taraf tidak bisa diperbaiki.

Perlindungan Negara

Beda negara beradab dengan tidak beradab adalah legalitas negara akan sesuatu yang dianggap buruk. Sesuatu yang buruk tidak akan dilegalkan oleh negara beradab tapi dilegalkan oleh negara tidak beradab.

Jika prostitusi dianggap buruk, maka negara beradab tidak akan melegalkannya termasuk membuat lokalisasi. Ini pekerjaan negara tidak beradab.

Memang hal yang buruk semacam prostitusi tetap akan ada. Tidak akan dapat dihilangkan oleh sistem apa pun yang diterapkan negara hatta sistem agama sekali pun. Tapi tidak kemudian prostitusi dilegalkan oleh negara. Pembuatan lokalisasi prostitusi adalah pelegalan negara akan profesi ini.

Dikhawatirkan ketika sesuatu yang buruk dilegalkan negara, maka itu akan merembet ke hal-hal buruk lain. Semacam perjudian. Meski dianggap buruk nanti akan dapat dipusatkan di satu lokasi dengan alasan supaya bisa dikontrol dan diawasi dengan ketat. Maka akhirnya kita akan membuat Las Vegas Van Indonesia.

Juga minuman keras. Saat ini Indonesia sudah melegalkan minuman keras meski dengan peredaran terbatas. Tapi tetap ini merupakan ciri negara tidak beradab.

Negara menganggap ganja itu buruk. Kemudian apakah kita perlu membuat pusat ganja supaya ganja bisa diawasi penggunaannya? Dan hanya di tempat itu saja ganja boleh dipakai? Alangkah ganjilnya pemikiran semacam ini.

Jika homoseksual dianggap buruk, apakah negara perlu melegalkan perkawinan sejenis? Supaya bisa lebih terkontrol dan kegiatan ini bisa diawasi?

Jika memang dianggap buruk, maka negara seharusnya melarang. Perkara buruk tidak bisa dihilangkan sampai tuntas; ini adalah kucing-kucingan antara pelanggar hukum dan penegak hukum. Tapi yang jelas hukum seharusnya melarang hal-hal yang buruk.

Negara seharusnya tidak memelihara keburukan dengan perlindungan hukum. Pemberian fasilitas dan perlindungan hukum secara implisit adalah pembiaran negara akan hal-hal buruk. Secara logika ini akan memupuk dan menyemai keburukan, membuatnya lebih berkembang. Dampak dari pengembangan keburukan ke masyarakat sudah jelas dan terang benderang bagai matahari di musim panas. Sedang dampak jangka panjangnya lebih mengerikan lagi. Maukah kita melihat Indonesia makin terpuruk di masa mendatang? Tentu tidak.

Semoga Allah swt menunjuki pemimpin-pemimpin kita jalan yang diridhoi-Nya.

Depok, Januari 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *