Di perumahan kami ada sungai mengelilingi komplek. Berkelok indah dengan genit. Sangat menenangkan rasa ketika melihat aliran air di dalamnya. Tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup duduk memperhatikan air, anda akan merasakan kedamaian di hati. Serasa surga berpindah ke bumi. Udara menjadi sejuk karena ada sungai ini. Banyak pohon di sekitar sungai membuat asri dan melegakan pernapasan.
Ada juga kejelekan ketika komplek bersisian dengan sungai. Eh, kejelekan menurut manusia maksud saya, bukan menurut alam. Yaitu ada banyak ular di sungai. Mereka mencari makan ikan, katak, atau hewan lain yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak akan kekurangan makan di sungai kami.
Kadang ular ini masuk ke komplek. Melalui selokan yang membelah kawasan. Tentu kami punya selokan dari semua rumah yang mengarah ke sungai. Ular melakukan ‘contra flow’ di selokan. Ini istilah lalu lintas yang artinya melawan arus. Kemudian ular muncul di jalan. Atau bahkan di salah satu rumah. Menimbulkan kepanikan penghuni.
Ada ular berbisa macam kobra. Ada juga ular tanah yang tidak berbisa. Tapi melihat besar dan panjangnya yang kadang mencapai 4 meter, saya bisa membayangkan kekuatan lilitan ular tersebut.
Kabar baiknya, ada musuh bebuyutan ular di sungai. Binatang yang bernama biawak. Binatang ini predator ular nomor wahid. Saya sering melihat biawak ini berburu ular. Berjalan dan berenang di sepanjang sungai. Biawak mencari lobang-lobang ular yang banyak bertebaran di sisinya. Setiap ada lobang, biawak memasukkan kepala ke dalamnya. Melongok, mencari apakah ada ular di sana. Jika tidak ada ular, bergerak lagi mencari lobang lain. Jika ada, kesempatan mendapat makanan.
Saya sangat terkesan dengan cara biawak mencari makan. Tidak ada takut sedikit pun ketika memasukkan kepala ke lobang ular. Tanpa keraguan sama sekali. Padahal dia tidak tahu apakah ada ular di dalam. Ularnya berbisa atau tidak. Ular besar atau kecil. Jika besar, bisa-bisa biawak yang tewas dililit. Mungkin inilah konsep tawakal di dalam agama. Berikhtiar dan berusaha, kemudian serahkan segalanya kepada Allah.
Melihat biawak, saya menjadi benar-benar malu. Saat ini saya terpilih menjadi ketua sebuah komunitas. Dan, menjadi pemimpin ternyata bukanlah suatu hal yang mudah. Tiap kebijakan pasti ada yang mengkritik. Tidak dapat memuaskan semua anggota. Mendapatkan banyak tantangan. Dimaki-maki orang ketika mereka tidak setuju. Dikritik kiri kanan. Dihujat atas bawah.
Ibarat orang membeli semangka, dikatakan: “Lho, kok beli semangka. Semangka itu 95 persen isinya air. Sama aja dengan beli air. Mending juga beli salak.” Ketika membeli salak, yang lain mengatakan: “Makan salak itu bikin perut sembelit. Beli buah kok sedikit air.” Serba salah.
Tadinya sudah putus asa. Mau lempar handuk untuk menyerah. Mengibarkan bendera putih tanda pasrah. Tapi melihat keberanian biawak memasukkan kepala ke tiap lobang ular, benar-benar menohok ego saya. Biawak bertaruh nyawa untuk itu. Tanpa tahu apa yang ada di dalam lobang, dia berani memasukkan kepala. Nah, saya? Hanya karena hujatan, kritikan, makian, kemudian tidak berani melanjutkan? Oh, betapa rendahnya keberanianku. Betapa kecilnya nyaliku. Tidak pernah ada ancaman pembunuhan. Belum tergores luka di kulit. Belum ada senjata terhunus di hadapan. Belum ada peluru merobek daging. Terus, mau berhenti berjuang?
Para pejuang kemerdekaan bukan hanya mendapatkan intimidasi, mereka mendapat embargo ekonomi, tembakan peluru di badan, sabetan bayonet di perut, penganiayaan di tiap sentimeter tubuh. Tapi mereka tetap berjuang. What a courage. Betapa kecilnya saya di hadapan mereka.
Seorang Jendral Sudirman – sang putra revolusi – menghadapi tentara sekutu Oktober dan Nopember 1945 di Ambarawa. Pasukan di bawah kepemimpinan Sudirman bersenjatakan katana (pedang Jepang) dan bambu runcing. Mereka menghadapi tentara gabungan Belanda dan Inggris dengan senjata dan peralatan modern (saat itu).
Sudirman yang profesi sebelumnya hanyalah seorang guru di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap, memimpin pasukan mengepung tentara gabungan Sekutu. Dengan memegang katana Sudirman berani berada di barisan terdepan. Mereka berhasil memukul mundur musuh sampai bertahan di benteng Willem. Sudirman dan pasukan menyerang benteng Willem selama empat hari, menyebabkan tentara Sekutu meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Bagaimana mungkin pasukan dengan senjata seadanya berani menyerang musuh dengan persenjataan canggih, terlatih baik, dan dengan fasilitas lengkap seperti benteng dan segala peratalan di dalamnya? Sungguh suatu keberanian yang luar biasa.
Saya hampir yakin Jendral Sudirman dahulu sering melihat biawak di sungai. Dan belajar keberanian dari mereka.
Tangerang Selatan, Februari 2022